Komite sekolah merupakan badan nonprofit dan nonpolitis. Lembaga ini
biasanya dibutuhkan saat musyawarah dengan orang tua siswa baru dalam
penentuan besaran Dana Sumbangan Pendidikan (DSP) dan Sumbangan
Penyelenggaraan Pendidikan (SPP). Setelah itu, lembaga yang dibentuk
berdasarkan musyawarah oleh para stakeholder pendidikan di tingkat
sekolah ini perannya tak begitu terasa atau kurang berdaya.
Keberadaan
komite sekolah merupakan salah satu implementasi Keputusan Mendiknas
No. 044/U/2002 sebagai konsekuensi dari upaya meletakkan landasan kokoh
bagi terselenggaranya pendidikan yang lebih demokratis, transparan, dan
efisien dengan memberikan jaminan partisipasi masyarakat sebagai
stakeholder pendidikan dalam mendukung proses pendidikan sesuai dengan
tuntutan pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Dalam
menjalankan fungsinya, komite sekolah perlu membentuk suatu jaringan
kerja yang tidak terlepas dari sistem persekolahan. Hubungan tersebut
menggambarkan adanya interelasi yang kedudukannya harus jelas sehingga
masing masing dapat berfungsi optimal dalam rangka menyukseskan
implementasi MBS di sekolah. Komite sekolah perlu memiliki program kerja
yang terintegrasi dengan bagian lain dari sekolah, termasuk kepala
sekolah, dan Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota.
Ironisnya, pada
perkembangan praktik di lapangan, ditemukan beberapa fenomena penting,
seperti adanya ketidakjelasan peran komite sekolah dan ketidakberdayaan.
Padahal, eksistensinya sangatlah penting dan strategis, yakni (1)
memberikan pertimbangan dalam menentukan dan melaksanakan kebijakan
pendidikan di satuan pendidikan; (2) mendukung baik yang berwujud
finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di
satuan pendidikan; dan (3) mengontrol dalam rangka transparansi dan
akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan, serta
sebagai mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di
satuan pendidikan (Disdik Prov. Jabar, 2004).
Sebenarnya, untuk
dapat menjalankan perannya, komite sekolah memiliki fungsi sebagai
berikut. Pertama, mendorong tumbuhnya kepedulian dan komitmen masyarakat
terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Kedua, melakukan
kerja sama dengan masyarakat, organisasi, alumni, dunia usaha atau dunia
industri, pemerintah, dan DPRD berkenaan dengan penyelenggaraan
pendidikan yang bermutu. Ketiga, menampung dan menganalisis aspirasi,
tuntutan, dan kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.
Sangatlah
disayangkan, ketika komite sekolah dijadikan tumpuan harapan
pemberdayaan sekolah, pelaksanaannya malahan banyak mengikuti cara
bertahan hidup "bunglon", yaitu hanya sekadar berganti nama atau baju
dari Badan Penunjang Pendidikan dan Pengajaran (BP3).
Hal ini
ditengarai karena rendahnya motivasi dan kemampuan manajemen kepala
sekolah dan komite sekolah sehingga dalam praktiknya, eksistensi komite
sekolah seperti fotokopi BP3 yang umumnya hanya memiliki organisasi,
tapi hampir tidak memiliki kegiatan sama sekali. Pepatah bilang, "bagai
kerakap hidup segan mati tak mau". Alih alih komite dapat menggali dana
di luar orang tua siswa, seperti penyewaan fasilitas, pemberdayaan
siswa, peduli alumni, bantuan yayasan, dan gerakan pengumpulan dana,
pengurus organisasi ini malah "mencari makan" dari tunjangan sekolah
yang cukup besar.
Pemberdayaan komite sekolah merupakan
keniscayaan. Setidaknya, perlu dilakukan langkah langkah sebagai
berikut. Pertama, mereorganisasi komite sekolah yang pasif atau stagnan.
Kedua, memberikan peran atau power yang lebih kuat terhadap komite.
Ketiga, menyosialisasikan komite sekolah yang lebih intensif dalam
beragam bentuk, seperti pendidikan, pelatihan, ataupun pemberian brosur.
Pihak sekolah jangan hanya memperalat komite sekolah sebagai pengumpul
dana dari orang tua siswa.
Membangun model hubungan tripartit
kerja formal dan terstruktur yang sinergis antara komite sekolah, kepala
sekolah, dan Dewan Pendidikan haruslah dilakukan. Komite sekolah, yang
notabene representasi orang tua murid, tokoh masyarakat, dan aparat
pemerintah, berperan sebagai pihak yang memercayakan pengelolaan sekolah
secara penuh kepada kepala sekolah dan stafnya.
Komite berperan
sebagai pihak yang menetapkan target yang harus dicapai oleh sekolah
tiap tahunnya. Organisasi ini berhak memberikan saran dan kritik
konstruktif untuk membantu sekolah dalam mencapai targetnya.
Pihak
sekolah bertanggung jawab atas kepuasan layanan siswa atau pelanggan
(customer) primer di sekolah dalam proses belajar mengajar (PBM) sebagai
core business nya. Meski komite berhak memberikan saran dan kritik,
keputusan tetap berada pada kepala sekolah dan guru sebagai judgement
profesional. Keputusan harus dikomunikasikan secara aktif dengan
didukung pertimbangan profesional yang dapat dipahami semua pihak. (*)
Hilman Hidayat SPD - Guru SMAN 13 Bandung
Penulis
Keputusan Mendiknas
No. 044/U/2002 bisa diunduh disini
Sumber : http://www.ahmadheryawan.com